Laman

Senin, 15 November 2010

HARGA MANUSIA

HARGA MANUSIA

Di mana letak harga manusia? Pada harta kekayaannya, pada kepribadiannya, pada pangkatnya? Atau pada martabatnya sebagai manusia? Manusia kaya, manusia pandai, manusia berpangkat, bukan harga yang abadi. Hanya manusia baik yang membuat semua harga itu menjadi abadi.

Kita mengenal Presiden Lincoln yang berjabatan top di negaranya, dan dia terkenal oleh usahanya membebaskan kaum Negro dari status perbudakan. Dan dia dikenang orang. Pandangannya tentang harga manusia yang harus sama telah membuatnya punya harga sebagai manusia. Pemimpin politik lain yang miskin dan tak pernah menjabat kedudukan tinggi dalam negara adalah Mahatma Gandhi. Dia pun terkenal menjunjung tinggi kemanusiaan. Karena dia orang besusila, maka namanya juga abadi. Ada juga orang kaya seperti Alfred Nobel, yang menggunakan warisan kekayaannya untuk mendorong penemuan baru untuk perdamaian dan kesejahteraan umat manusia. Dia juga dikenang.

Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa harta, pangkat, dan kepandaian seseorang tidak ada harganya sama sekali kalau tidak didasari kebaikan. Siapa saja bisa menjadi manusia baik, tidak pandang bulu. Dia boleh pengemis, boleh petani, boleh pedagang, boleh doktor, boleh menteri, boleh gelandangan. Gelandangan yang baik lebih berharga daripada koruptor kaya.

Dengan kekayaan, manusia dapat meningkatkan kebaikan dirinya. Dia dapat berbuat banyak untuk menolong sesama manusia yang membutuhkan pertolongannya. Orang sakit. Orang yang tak mampu berobat. Orang yang tak mampu menyekolahkan anaknya. Orang yang menderita kesepian karena ditinggalkan sanak-saudaranya. Orang yang kena musibah mendadak yang membutuhkan pertolongan.

Selain orang kaya, orang berjabatan pun punya kesempatan banyak untuk berbuat baik. Dengan kekuasaannya ia dapat mengarahkan perhatian kepada nasib orang yang membutuhkan pertolongan. Begitu pula orang pandai, mereka dapat memeras otaknya memikirkan cara menolong banyak manusia yang menderita bukan karena kesalahannya.

Pendidikan susila kiranya perlu diperhatikan, entah dengan cara apa saja. Pendidikan susila mengarahkan ajaran untuk mendorong si anak berbuat baik, berbuat susila, agar harga dirinya sebagai manusia cukup kuat.

Manusia itu disebut manusia kalau berbuat sebagai manusia. Umpatan bahwa 'dia itu binatang' menunjukkan nilai bahwa orang yang dimaki itu melakukan sesuatu yang merendahkan derajatnya sendiri sebagai manusia. Kalau dia manusia, tentu tidak akan berbuat begitu.

Harga manusia terletak pada perbuatannya, pada apa yang dipikirkannya, dikatakannya, dan dilakukannya. Manusia yang berpikiran jernih, jujur, penuh kasih, tentu akan tampak dari apa yang dilakukannya. Tetapi, manusia lebih dari itu. Manusia juga harus peduli pada sesamanya, lingkungan hidupnya. Kelalaian memperhatikan lingkungan dapat memerosotkan harga dirinya sebagai manusia. Di kota besar, orang cenderung acuh tak acuh apabila ada orang lain yang meminta pertolongan pada sesamanya karena mengalami kecelakaan. Seolah-olah kecelakaan itu peristiwa biasa yang bukan urusannya. Yang mengatur soal begitu toh sudah ada, mengapa mesti mengambil risiko untuk menolongnya? Inilah iklim kota besar yang disibukkan oleh urusan pribadi. Dalam masyarakat komunal di daerah pinggiran, kepedulian terhadap nasib malang orang lain kadang masih sangat tebal. Orang bersedia menolong, kadang dengan mengorbankan tenaga atau benda milik sendiri demi keselamatan orang lain.

Mengapa rasa kemanusiaan dapat begitu tipis di kota besar? Mengapa kehidupan kota besar dapat begitu kejam? Apakah rasa kemanusiaan telah hilang, telah menipis, oleh urusan pribadi yang penuh persaingan? Bagaimana kalau Pulau Jawa ini kelak benar-benar menjadi kota terpanjang di dunia?

Mudah-mudahan gambar suram itu tidak terjadi. Kita memiliki pandangan hidup berbangsa, ber-Pancasila. Pandangan hidup ini memberi peluang bagi kita untuk dapat memanusiakan diri kita sendiri kebersamaan persatuan, kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, toleransi, pengakuan keanekaragaman, dan nilai-nilai lain disediakan bagi kita agar dapat menjadi manusia yang manusiawi.

Memang mudah untuk bicara, tetapi sulit untuk berbuat. Padahal harga manusia bukan pada yang diketahuinya, tetapi pada apa yang dilakukannya. Orang rata-rata memang tahu harus berbuat baik sebagai manusia, tetapi beberapa pertimbangan mengurungkan niatnya untuk berbuat baik.

Pendidikan Pancasila bukan hanya hafalan di atas kertas ulangan, tetapi seharusnya juga dipraktekkan di lapangan. Ada tidaknya Pancasila dalam pikiran bangsa Indonesia terlihat dalam praktek hidup bangsa ini sehari-hari, mulai dari yang berpangkat tinggi, yang mahakaya, yang cerdik cendekia, sampai yang gelandangan, gembel, dan orang-orang lugu. Harga manusia Indonesia ada di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar